Halaman

Jumat, 30 November 2012

Jenis-Jenis Kekuasaan










Jenis-Jenis Kekuasaan

1. Monarki dan Tirani

Monarki berasal dari kata ‘monarch’ yang berarti raja, yaitu jenis kekuasaan politik di mana raja atau ratu sebagai pemegang kekuasaan dominan negara (kerajaan). Para pendukung monarki biasanya mengajukan pendapat bahwa jenis kekuasaan yang dipegang oleh satu tangan ini lebih efektif untuk menciptakan suatu stabiltas atau konsensus di dalam proses pembuatan kebijakan. Perdebatan yang bertele-tele, pendapat yang beragam, atau persaingan antarkelompok menjadi relatif terkurangi oleh sebab cuma ada satu kekuasaan yang dominan.

Negara-negara yang menerapkan jenis kekuasaan monarki hingga saat ini adalah Inggris, Swedia, Denmark, Belanda, Norwegia, Belgia, Luxemburg, Jepang, Muangthai, dan Spanyol. Di negara-negara ini, monarki menjadi instrumen pemersatu yang cukup efektif, misalnya sebagai simbol persatuan antar berbagai kelompok yang ada di tengah masyarakat. Kita perhatikan negara yang modern dan maju seperti Inggris dan Jepang pun masih menerapkan sistem monarki.

Namun, di negara-negara ini, penguasa monarki harus berbagi kekuasaan dengan pihak lain, terutama parlemen. Proses berbagi kekuasaan tersebut dikukuhkan lewat konstitusi (Undang-undang Dasar), dan sebab itu, monarki di era negara-negara modern sesungguhnya bukan lagi absolut melainkan bersifat monarki konstitusional. Bahkan, kekuasaannya hanya bersifat simbolik (sekadar kepala negara) ketimbang amat menentukan praktek pemerintahan sehari-hari (kepala pemerintahan). Di ke-10 negara monarki yang telah disebut di atas, pihak yang relatif lebih berkuasa untuk menentukan jalannya pemerintahan adalah parlemen dengan perdana menteri sebagai kepala pemerintahannya.

Jenis monarki lainnya yang kini masih ada adalah Arab Saudi. Negara ini berupa kerajaan dan raja adalah sekaligus kepala negara dan pemerintahan. Kekuasaan raja tidak dibatasi secara konstitusional, tidak ada partai politik dan oposisi di sana. Pola kekuasaan di Arab Saudi juga dikenal sebagai dinasti (Dinasti al-Saud), di mana pewaris raja adalah keturunannya.

Bentuk pemerintahan yang buruk di dalam satu tangan adalah Tirani. Tiran-tiran kejam yang pernah muncul dalam sejarah politik dunia misalnya Kaisar Nero, Caligula, Hitler, atau Stalin. Meskipun Hitler atau Stalin memerintah di era negara modern, tetapi jenis kekuasaan yang mereka jalankan pada hakekatnya terkonsentrasi pada satu tangan, di mana keduanya sama sekali tidak mau membagi kekuasaan dengan pihak lain, dan kerap kali bersifat kejam baik terhadap rakyat sendiri maupun lawan politik.

2. Aristokrasi dan Oligarki

Dalam jenis kekuasaan monarki, raja atau ratu biasanya bergantung pada dukungan yang diberikan oleh para penasihat dan birokrat. Jika kekuasaan lebih banyak ditentukan oleh orang-orang ini (penasihat dan birokrat) maka jenis kekuasaan tidak lagi berada pada satu orang (mono) melainkan beberapa (few).

Aristokrasi sendiri merupakan pemerintahan oleh sekelompok elit (few) dalam masyarakat, di mana mereka ini mempunyai status sosial, kekayaan, dan kekuasaan politik yang besar. Ketiga hal ini dinikmati secara turun-temurun (diwariskan), menurun dari orang tua kepada anak. Jenis kekuasaan aristokrasi ini disebut pula sebagai jenis kekuasaan kaum bangsawan (aristokrasi).

Biasanya, di mana ada kelas aristokrat yang dominan secara politik, maka di sana ada pula monarki. Namun, jenis kekuasaan oleh beberapa orang ini —aristokrasi— tidak bertahan lama, oleh sebab orang-orang yang orang tuanya bukan bangsawan pun bisa duduk mempengaruhi keputusan politik negara asalkan mereka berprestasi, kaya, berpengaruh, dan cerdik. Jika kenyataan ini terjadi, yaitu peralihan dari kekuasaan para bangsawasan ke kelompok non-bangsawan, maka hal tersebut dinyatakan sebagai peralihan atau pergeseran dari aristokrasi menuju oligarki.

Untuk menggambarkan peralihan di atas, baiklah kami kemukakan apa yang terjadi di Inggris. Sebelum terjadinya Revolusi Industri padaa abad ke-18 —tepatnya sebelum mesin uap ditemukan oleh James Watt— Inggris menganut jenis kekuasaan monarki dengan kaum bangsawasan (aristokrat) sebagai pemberi pengaruh yang besar.

Namun, setelah Revolusi Industri mulai menunjukkan efek, yaitu berupa munculnya kelas menengah baru (pengusaha baru yang kekayaan diperoleh sendiri bukan diwariskan), maka kekuasaan kaum bangsawasan dalam mempengaruhi kekuasaan monarki mulai ‘digerogoti.’ Kelas menengah baru ini mulai menentukan jalannya kekuasaan di parlemen, dan, pengaruh kaum ‘Orang Kaya Baru’ ini dinyatakan sebagai jenis kekuasaan oligarki.

Hingga saat ini, di parlemen Inggris terdapat dua kamar yaitu House of Lords dan House of Commons. Kamar yang pertama berisikan kaum bangsawan (namanya didahului dengan Sir), sementara yang kedua banyak diisi oleh kaum kaya yang berpengaruh, meskipun mereka bukan berdarah bangsawan. House of Commons lebih menentukan jalannya parlemen Inggris ketimbang House of Lords. Dengan demikian, oligarki-lah yang lebih berkuasa di Inggris ketimbang aristokrasi pada masa kini.

3. Demokrasi dan Mobokrasi

Jika kekuasaan dipegang oleh seluruh rakyat, bukan oleh mono atau few, maka kekuasaan tersebut dinamakan demokrasi. Di dalam sejarah politik, jenis kekuasaan demokrasi yang dikenal terdiri dari dua kategori. Kategori pertama adalah demokrasi langsung (direct democracy) dan demokrasi perwakilan (representative democracy).

Demokrasi langsung berarti rakyat memerintah dirinya secara langsung, tanpa perantara. Salah satu pendukung demokrasi langsung adalah Jean Jacques Rousseau, di mana Rousseau ini mengemukakan 4 kondisi yang memungkinkan bagi dilaksanakannya demokrasi langsung yaitu:
§  Jumlah warganegara harus kecil.
§  Pemilikan dan kemakmuran harus dibagi secara merata (hampir merata).
§  Masyarakat harus homogen (sama) secara budaya.
§  Terpenuhi di dalam masyarakat kecil yang bermata pencaharian pertanian.

Pertanyaan kemudian adalah: Mungkinkan keadaan yang digambarkan Rousseau itu ada di era negara modern saat ini? Jumlah warganegara negara-negara di dunia rata-rata berada di atas jumlah 1-2 juta jiwa, pemilikan harta sama sekali tidak merata, secara budaya masyarakat relatif heterogen (beragam) yang ditambah dengan infiltrasi budaya asing, dan pencaharian penduduk dunia tengah beralih dari pertanian ke industri. Masih mungkinkah demokrasi langsung dilaksanakan?

Di dalam demokrasi langsung, memang kedaulatan rakyat lebih terpelihara oleh sebab kekuasaannya tidak diwakilkan. Semua warganegara ikut terlibat di dalam proses pengambilan keputusan, tanpa ada yang tidak ikut serta. Namun, di zaman pelaksanaan demokrasi langsung sendiri, yaitu di masa negara-kota Yunani Kuno, ada beberapa kelompok masyarakat yang tidak diizinkan untuk ikut serta di dalam proses demokrasi langsung yaitu: budak, perempuan, dan orang asing.

Dengan alasan kelemahan demokrasi langsung, terutama oleh ketidakrealistisannya untuk diberlakukan dalam keadaan negara modern, maka demokrasi yang saat ini dikembangkan adalah demokrasi perwakilan. Di dalam demokrasi perwakilan, tetap rakyat yang memerintah. Namun, itu bukan berarti seluruh rakyat berbondong-bondong datang ke parlemen atau istana negara untuk memerintah atau membuat UU. Tentu tidak demikian.

Rakyat terlibat secara ‘total’ di dalam mekanisme pemilihan pejabat (utamanya anggota parlemen) lewat Pemilihan Umum periodik (misal: 4 atau 5 tahun sekali). Dengan memilih si anggota parlemen, rakyat tetap berkuasa untuk membuat UU, akan tetapi keterlibatan tersebut melalui si wakil. Wakil ini adalah orang yang mendapat delegasi wewenang dari rakyat. Di Indonesia, 1 orang wakil rakyat (anggota parlemen) kira-kira mewakili 300.000 orang pemilih.

Dengan demokrasi perwakilan, rakyat tidak terlibat secara penuh di dalam membuat UU negara. Misalnya saja, dari hampir 200 juta jiwa warganegara Indonesia, proses pemerintahan demokrasi di tingkat parlemen hanya dilakukan oleh 500 orang wakil rakyat yang duduk menjadi anggota DPR. Bandingkan kalau saja Indonesia menerapkan demokrasi langsung di mana 200 juta rakyat Indonesia duduk di parlemen. Kacau dan pasti memakan biaya mahal, bukan? Dengan kenyataan ini maka demokrasi perwakilan lebih praktis ketimbang demokrasi langsung.

Dalam demokrasi, baik langsung ataupun tidak langsung, keterlibatan rakyat menjadi tujuan utama penyelenggaraan negara. Masing-masing individu rakyat pasti ingin kepentinganyalah yang terlebih dahulu dipenuhi. Oleh sebab keinginan tersebut ingin didahulukan, dan pihak lain pun sama, dan jika hal ini berujung pada situasi chaos (kacau) bahkan perang (bellum omnium contra omnes --- perang semua lawan semua), maka bukan demokrasi lagi namanya melainkan mobokrasi. Mobokrasi adalah bentuk buruk dari demokrasi, di mana rakyat memang berdaulat tetapi negara berjalan dalam situasi perang dan tidak ada satu pun kesepakatan dapat dibuat secara damai.

4. Timokrasi

Menurut Stanley Rosen, Timokrasi adalah jenis kekuasaan yang pernah disebutkan oleh Sokrates, filosof Yunani. Timokrasi dirujuk Sokrates dalam menggambarkan rezim pemerintahan negara kota Sparta. Konsep ini mengacu pada “timocratic man”, yaitu seseorang yang gandrung akan kemenangan dan kehormatan. Timokrasi terletak di posisi tengah antara Aristokrasi dan Oligarki. Juga disebutkan Timokrasi adalah Aristokrasi yang tengah mengalami kemerosotan ke arah jenis kekuasaan Oligarki.

Jika Aristokrasi adalah jenis pemerintahan ideal, penuh keberanian dan kehormatan dalam pemerintahan. Namun, tatkala keberanian dan kehormatan dari kekuasaan di tangan beberapa orang atau kelompok ini (aristokrasi) mulai diwarnai motivasi kesejahteraan pribadi atau kelompok, maka dimulaikan Timokrasi. Timokrasi bukan Oligarki, oleh sebab di dalam Timokrasi, menurut Sokrates, masih meniru Aristokrasi. Barulah, tatkala proses peniruan kualitatif atas Aristokrasi tidak lagi terjadi, Timokrasi merosot menjadi Oligarki.

5. Oklokrasi

Mirip dengan definisi Mobokrasi. Oklokrasi adalah situasi negara dalam anarki massa. Pemerintahan ini tidak legal dan konstitusional. Namun, karena --biasanya-- kelompok-kelompok massa tersebut punya senjata atau massa besar, mereka memerintah memanfaatkan rasa takut. Amerika Serikat tahun 1930-an hampir masuk ke dalam kategori ini, di mana keluarga-keluarga mafia mengendalikan negara secara ilegal dan inkonstitusional.

6. Plutokrasi

Plutokrasi adalah jenis kekuasaan di mana negara “disetir” oleh orang-orang kaya. Plutokrasi ini mirip dengan Oligarki. Namun, Plutokrasi terjadi tatkala tercipta suatu kondisi ekstrim ketimpangan antara “kaya” dan “miskin” di dalam suatu negara. Plutokrat (penguasa dalam Plutokrasi) tidak hanya menguasai sumber-sumber ekonomi dan politik, melainkan juga sumber-sumber militer (pasukan, senjata, teknologi). Dalam kondisi seperti ini, Plutokrat biasanya, secara de facto, lebih berkuasa ketimbang pemerintah resmi.

7. Kleptokrasi

Kleptokrasi adalah jenis kekuasaan dimana pejabat publik menggunakan kekuasaan publiknya untuk mencuri kekayaan negara (korupsi otomatis). Kleptokrasi juga disebut sebagai korupsi yang dilakukan oleh para pejabat tingkat tinggi yang secara sistematis menggunakan posisinya untuk mengalirkan dana publik ke dalam kantong-kantong pribadinya. Semakin massal tindak korupsi oleh para pejabat publik, maka semakin mendekati suatu negara menganut jenis pemerintahan Kleptokrasi.

Bentuk-Bentuk Negara

Bentuk-bentuk negara yang dikenal hingga saat ini terdiri dari tiga bentuk yaitu Konfederasi, Kesatuan, dan Federal. Meskipun demikian, bentuk negara Konfederasi kiranya jarang diterapkan di dalam bentuk-bentuk negara pada masa kini. Namun, untuk keperluan analisis, baiklah di dalam materi kuliah ini dicantumkan pula masalah Konfederasi minimal untuk lebih meluaskan wawasan kita mengenai bentuk-bentuk negara yang ada.

1. Negara Konfederasi

Bagi L. Oppenheim, “konfederasi terdiri dari beberapa negara yang berdaulat penuh yang untuk mempertahankan kedaulatan ekstern (ke luar) dan intern (ke dalam) bersatu atas dasar perjanjian internasional yang diakui dengan menyelenggarakan beberapa alat perlengkapan tersendiri yang mempunyai kekuasaan tertentu terhadap negara anggota Konfederasi, tetapi tidak terhadap warganegara anggota Konfederasi itu.”

Menurut kepada definisi yang diberikan oleh L. Oppenheim di atas, maka Konfederasi adalah negara yang terdiri dari persatuan beberapa negara yang berdaulat. Persatuan tersebut diantaranya dilakukan demi mempertahankan kedaulatan dari negara-negara yang masuk ke dalam Konfederasi tersebut. Pada tahun 1963, Malaysia dan Singapura pernah membangun suatu Konfederasi, yang salah satunya dimaksudkan untuk mengantisipasi politik luar negeri yang agresif dari Indonesia di masa pemerintahan Sukarno. Malaysia dan Singapura mendirikan Konfederasi lebih karena alasan pertahanan masing-masing negara.

Dalam Konfederasi, aturan-aturan yang ada di dalamnya hanya berefek kepada masing-masing pemerintah (misal: pemerintah Malaysia dan Singapura), dengan tidak mempengaruhi warganegara (individu warganegara) Malaysia dan Singapura. Meskipun terikat dalam perjanjian, pemerintah Malaysia dan Singapura tetap berdaulat dan berdiri sendiri tanpa intervensi satu negara terhadap negara lainnya di dalam Konfederasi.

Miriam Budiardjo menjelaskan bahwa Konfederasi itu sendiri pada hakekatnya bukan negara, baik ditinjau dari sudut ilmu politik maupun dari sudut hukum internasional. Keanggotaan suatu negara ke dalam suatu Konfederasi tidaklah menghilangkan ataupun mengurangi kedaulatan setiap negara yang menjadi anggota Konfederasi.

Garis putus-putus yang melambangkan ‘rantai komando’ dari Konfederasi menuju Pemerintah Negara A, B, dan C, dimaksudkan guna menunjukkan hirarki yang kurang tegas antara kedua ‘negara’ tersebut (tanpa petunjuk panah plus garis putus-putus). Dapat dilihat misalnya, garis ‘komando’ hanya beranjak dari Konfederasi menuju pemerintah negara A, B, dan C, tetapi tidak pada warganegara di ketiga negara.

Garis ‘komando’ langsung terhadap warganegara di masing-masing negara dilakukan oleh pemerintah masing-masing. Kesediaan pemerintah ketiga negara berdaulat untuk bergabung ke dalam konfederasi lebih disebabkan oleh motivasi sukarela ketimbang kewajiban. Pengaruh Konfederasi terhadap ketiga negara berdaulat (A, B, dan C) hanya bersifat kecil saja. Mengenai ‘lingkaran’ yang melingkupi masing-masing pemerintah dan negara bagaian mengindikasikan kedaulatan yang tetap ada di masing-masing negara anggota Konfederasi.

2. Kesatuan

Negara Kesatuan adalah negara yang pemerintah pusat atau nasional memegang kedudukan tertinggi, dan memiliki kekuasaan penuh dalam pemerintahan sehari-hari. Tidak ada bidang kegiatan pemerintah yang diserahkan konstitusi kepada satuan-satuan pemerintahan yang lebih kecil (dalam hal ini, daerah atau provinsi).

Dalam negara Kesatuan, pemerintah pusat (nasional) bisa melimpahkan banyak tugas (melimpahkan wewenang) kepada kota-kota, kabupaten-kabupaten, atau satuan-satuan pemerintahan lokal. Namun, pelimpahan wewenang ini hanya diatur oleh undang-undang yang dibuat parlemen pusat (di Indonesia DPR-RI), bukan diatur di dalam konstitusi (di Indonesia UUD 1945), di mana pelimpahan wewenang tersebut bisa saja ditarik sewaktu-waktu.

Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi, di mana ini dikenal pula sebagai desentralisasi. Namun, kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan pemerintah pusat dan dengan demikian, baik kedaulatan ke dalam maupun kedaulatan ke luar berada pada pemerintah pusat.

Miriam Budiardjo menulis bahwa yang menjadi hakekat negara Kesatuan adalah kedaulatannya tidak terbagi dan tidak dibatasi, di mana hal tersebut dijamin di dalam konstitusi. Meskipun daerah diberi kewenangan untuk mengatur sendiri wilayahnya, tetapi itu bukan berarti pemerintah daerah itu berdaulat, sebab pengawasan dan kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat-lah sesungguhnya yang mengatur kehidupan setiap penduduk daerah.

Keuntungan negara Kesatuan adalah adanya keseragaman Undang-Undang, karena aturan yang menyangkut ‘nasib’ daerah secara keseluruhan hanya dibuat oleh parlemen pusat. Namun, negara Kesatuan bisa tertimpa beban berat oleh sebab adanya perhatian ekstra pemerintah pusat terhadap masalah-masalah yang muncul di daerah.

Penanganan setiap masalah yang muncul di daerah kemungkinan akan lama diselesaikan oleh sebab harus menunggu instruksi dari pusat terlebih dahulu. Bentuk negara Kesatuan juga tidak cocok bagi negara yang jumlah penduduknya besar, heterogenitas (keberagaman) budaya tinggi, dan yang wilayahnya terpecah ke dalam pulau-pulau. Untuk lebih memperjelas masalah negara Kesatuan ini, baiklah kami buat skema berikut:

Ada sebagian kewenangan yang didelegasikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, yang dengan kewenangan tersebut pemerintah daerah mengatur penduduk yang ada di dalam wilayahnya. Namun, pengaturan pemerintah daerah terhadap penduduk di wilayahnya lebih bersifat ‘instruksi dari pusat’ ketimbang improvisasi dan inovasi pemerintah daerah itu sendiri.

Dalam negara Kesatuan, pemerintah pusat secara langsung mengatur masing-masing penduduk yang ada di setiap daerah. Misalnya, pemerintah pusat berwenang menarik pajak dari penduduk daerah, mengatur kepolisian daerah, mengatur badan pengadilan, membuat kurikulum pendidikan yang bersifat nasional, merelay stasiun televisi dan radio pemerintah ke seluruh daerah, dan bahkan menunjuk gubernur kepala daerah.

3. Federasi

Negara Federasi ditandai adanya pemisahan kekuasaan negara antara pemerintahan nasional dengan unsur-unsur kesatuannya (negara bagian, provinsi, republik, kawasan, atau wilayah). Pembagian kekuasaan ini dicantumkan ke dalam konstitusi (undang-undang dasar). Sistem pemerintahan Federasi sangat cocok untuk negara-negara yang memiliki kawasan geografis luas, keragaman budaya daerah tinggi, dan ketimpangan ekonomi cukup tajam.

Apakah ada perbedaan antara Konfederasi dengan Federasi ? Ya, ada! Negara-negara yang menjadi anggota suatu Konfederasi tetap merdeka sepenuhnya atau berdaulat, sedangkan negara-negara yang tergabung ke dalam suatu Federasi kehilangan kedaulatannya, oleh sebab kedaulatan ini hanya ada di tangan pemerintahan Federasi.

Di Amerika Serikat, terdapat 50 negara bagian semisal Alabama, New Hampshire, New Mexico, Maine, Utah, Wisconsin, South Dakota, Wyoming, West Virginia, Nevada, New Jersey, Florida, Hawaii, Alaska, New Mexico, California, Kansas, Phoenix, Nebraska, Pennsylvania, atau Texas. Negara-negara bagian ini tidaklah berdaulat sendiri-sendiri melainkan kedaulatan tersebut hanya ada di tangan pemerintah Federasi yang dikenal sebagai United States of America (Amerika Serikat) dengan ibukotanya di Washington D.C. (District Columbia) itu!

Bagaimana selanjutnya, adakah perbedaan antara negara Federasi dengan negara Kesatuan ? Ya, juga ada! Negara-negara bagian suatu Federasi memiliki wewenang untuk membentuk undang-undang dasar sendiri serta pula wewenang untuk mengatur bentuk organisasi sendiri dalam batas-batas konstitusi federal, sedangkan di dalam negara Kesatuan, organisasi pemerintah daerah secara garis besar telah ditetapkan oleh undang-undang dari pusat.

Selanjutnya pula, dalam negara Federasi, wewenang membentuk undang-undang pusat untuk mengatur hal-hal tertentu telah terperinci satu per satu dalam konstitusi Federal, sedangkan dalam negara Kesatuan, wewenang pembentukan undang-undang pusat ditetapkan dalam suatu rumusan umum dan wewenang pembentukan undang-undang lokal tergantung pada badan pembentuk undang-undang pusat itu.

Di dalam negara Federasi, kedaulatan hanya milik pemerintah Federal, bukan milik negara-negara bagian. Namun, wewenang negara-negara bagian untuk mengatur penduduk di wilayahnya lebih besar ketimbang pemerintah daerah di negara Kesatuan.

Wewenang negara bagian di negara Federasi telah tercantum secara rinci di dalam konstitusi federal, misalnya mengadakan pengadilan sendiri, memiliki undang-undang dasar sendiri, memiliki kurikulum pendidikan sendiri, mengusahakan kepolisian negara bagian sendiri, bahkan melakukan perdagangan langsung dengan negara luar seperti pernah dilakukan pemerintah Indonesia dengan negara bagian Georgia di Amerika Serikat di masa Orde Baru.

Kendatipun negara bagian memiliki wewenang konstitusi yang lebih besar ketimbang negara Kesatuan, kedaulatan tetap berada di tangan pemerintah Federal yaitu dengan monopoli hak untuk mengatur Angkatan Bersenjata, mencetak mata uang, dan melakukan politik luar negeri (hubungan diplomatik). Kedaulatan ke dalam dan ke luar di dalam negara Federasi tetap menjadi hak pemerintah Federal bukan negara-negara bagian.

Korelasi Demografis dengan Bentuk Negara dan Pemerintahan

Guna memperlihatkan korelasi antara bentuk negara, luas wilayah, jumlah penduduk, bentuk pemerintahan, dan bentuk negara, di bawah ini kami cantumkan 20 negara dari beragam belahan dunia. 

Dari tabel di atas dapat kita sama-sama lihat bahwa negara-negara dengan luas wilayah besar (di atas 1 juta kilometer persegi), biasanya memilih bentuk negara Federasi, kecuali Indonesia, Mesir, dan Bolivia.

Namun, antara Indonesia, Mesir dan Bolivia terdapat sejumlah perbedaan. Indonesia terpecah ke dalam pulau-pulau di mana penduduk di masing-masing pulau tersebut memiliki budaya yang saling berbeda. Sementara Mesir dan Bolivia seluruh wilayahnya berada di daratan. Jumlah penduduk Bolivia dan Mesir pun jauh berada di bawah jumlah penduduk Indonesia.

Anda pun dapat menganalisis berdasarkan tabel di atas khususnya sehubungan dengan masalah keragaman budaya di masing-masing negara dengan pemilihan bentuk negara (Federasi atau Kesatuan). Di Indonesia sendiri, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam telah diberi hak untuk menerapkan sistem hukum sendiri (syariat Islam), tetapi tetap tidak diperbolehkan memiliki angkatan perang, mata uang, dan melakukan politik luar negeri sendiri. Apakah Indonesia tengah berjalan menuju bentuk negara Federasi atau tidak? Bagaimana argumentasi Anda?

Bentuk Pemerintahan

Pemerintahan tidak sekedar menyangkut pihak eksekutif, melainkan juga eksekutif. Dalam pembicaraan mengenai bentuk pemerintahan, kita sekaligus menelaah hubungan antara badan eksekutif dengan legislatif. Pembicaraan ini juga menyangkut bagaimana proses perekrutan anggota eksekutif dan legislatif di suatu negara.

Dua bentuk pemerintahan yang paling luas digunakan negara-negara di dunia adalah Parlementer dan Presidensil. Kedua bentuk tersebut memiliki mekanisme perekrutan yang berbeda satu dengan lainnnya.

1. Bentuk Pemerintahan Parlementer

Dalam sistem Parlementer, warganegara tidak memilih kepala negara secara langsung. Mereka memilih anggota-anggota dewan perwakilan rakyat, yang diorganisasi ke dalam satu atau lebih partai politik. Umumnya, sistem Parlementer mengindikasikan hubungan kelembagaan yang erat antara eksekutif dan legislatif.

Kepala pemerintahan dalam sistem Parlementer adalah perdana menteri (disebut Premier di Italia atau Kanselir di Jerman). Perdana menteri memilih menteri-menteri serta membentuk kabinet berdasarkan suatu ‘mayoritas’ dalam parlemen (berdasarkan jumlah suara yang didapat masing-masing partai di dalam Pemilu). Untuk lebih memberi kejelasan mengenai sistem Parlementer ini.
Dalam bentuk pemerintahan parlementer, pemilu hanya diadakan satu macam yaitu untuk memilih anggota parlemen. Lewat mekanisme pemilihan umum, warganegara memilih wakil-wakil mereka untuk duduk di parlemen. Wakil-wakil yang mereka pilih tersebut merupakan anggota dari partai-partai politik yang ikut serta di dalam pemilihan umum.

Jika sebuah partai memenangkan suara secara mayoritas (misalnya 51% suara pemilih), maka secara otomatis, ketua partai tersebut menjadi perdana menteri. Selanjutnya, tugas yang harus dilakukan si perdana menteri ini adalah membentuk kabinet, di mana anggota-anggota kabinet diajukan oleh para anggota parlemen terpilih, sehingga anggota kabinet dapat berasal baik dari partainya sendiri maupun partai saingannya yang punya jumlah suara signifikan. Menteri-menteri inilah yang nantinya mengarahkan atau mengepalai kementerian-kementerian yang dibentuk.

Jika pemilu tidak menghasilkan jumlah suara mayoritas (misalnya 30% hingga 50%), maka partai-partai harus berkoalisi untuk kemudian memilih siapa perdana menterinya. Biasanya, partai dengan jumlah suara paling besar-lah yang ketua partainya menjadi perdana menteri di dalam koalisi (kabinet koalisi). Susunan kabinet pun, dengan koalisi ini, tidak bisa dimonopoli oleh satu partai saja, layaknya ketika pemilu menghasilkan suara mayoritas 51%. Masing-masing partai yang berkoalisi biasanya menuntut ‘jatah’ menteri sesuai dengan jumlah suara yang mereka hasilkan dalam pemilu. Untuk selanjutnya, perdana menteri (beserta kabinetnya) bertanggung jawab kepada parlemen sebagai representasi rakyat hasil pemilihan umum.

Dalam bentuk parlementer, perdana menteri menjadi kepala pemerintahan sekaligus pemimpin partai. Dalam sistem parlementer, partai yang menang dan masuk ke dalam kabinet menjadi ‘pemerintah’ sementara yang tetap berada di dalam parlemen menjadi ‘oposisi.’

Hal yang menarik adalah, anggota-angggota parlemen yang menjadi oposisi membentuk semacam ‘kabinet bayangan.’ Jika kabinet pemerintah ‘jatuh’, maka ‘kabinet bayangan’ inilah yang akan menggantikannya lewat pemilu ‘yang dipercepat’ atau pemilihan perdana menteri baru. Sistem ‘kabinet bayangan’ ini berlangsung efektif di Inggris di mana ‘kabinet bayangan’ tersebut bekerja layaknya kabinet pemerintah dan … digaji pula.

Matthew Soberg Shugart menyatakan bahwa, bentuk pemerintahan parlementer murni adalah sebagai berikut:
Executive authority, consisting of a prime minister and cabinet, arises out of the legislative assembly;
The executive is at all times subject to potential dismissal via a vote of “no confidence” by a majority of the legislative assembly.

Shugart menekankan bahwa hubungan antara legislatif dan eksekutif dalam parlementer bersifat hirarkis. Dalam poin 1, otoritas eksekutif terdiri atas perdana menteri dan kabinet. Keduanya lahir dari parlemen (legislatif). Karena keduanya lahir dari parlemen, maka baik perdana menteri ataupun anggota kabinet merupakan sasaran potensial bagi “mosi tidak percaya” yang disuarakan oleh parlemen. Mudahnya, posisi perdana menteri dan para menterinya amat bergantung pada kepercayaan politik yang diberikan para anggota parlemen. Sebab itu, secara hirarkis, posisi perdana menteri dan anggota kabinet ada di bawah parlemen atau, eksekutif berada di bawah legislatif.

Shugart juga menambahkan bahwa sistem pemerintahan Parlementer punya 2 varian, yaitu : (1) Parlementer Mayoritas dan (2) Parlementer Transaksional.

Parlementer Mayoritas. Sistem ini berkembang kala satu partai memperoleh mayoritas kursi di parlemen. Jika terjadi kondisi seperti ini, maka hubungan antara legislatif dan eksekutif bersifat hirarkis di mana legislatif berada di atas eksekutif. Kajian yang dilakukan Walter Bagehot (1867-1963) menunjukkan derajat hirarkis seperti ini masih terjadi antara kepemimpinan partai mayoritas di dalam parlemen terhadap eksekutif. Namun, pasca Bagehot muncul keadaan di mana konsentrasi kekuasaan ada di tangan kepemimpinan partai mayoritas (partai itu sendiri) ketimbang kepemimpinan partai di dalam parlemen. Kondisi lain yang juga mengemuka, pimpinan partai yang duduk di dalam kabinet semakin beroleh otonomi yang lebih besar dan cenderung “lepas” dari sokongan politik mereka di parlemen. Ini misalnya terjadi di Inggris atau negara yang menganut demokrasi Westminster.

Parlementer Transaksional. Jika tidak terdapat mayoritas di dalam parlemen, eksekutif dalam sistem parlementer akan terdiri dari koalisi. Kabinet dalam koalisi ini bertahan selama koalisi mampu menjamin mayoritas. Alternatif-nya, pemerintahan minoritas mungkin saja terbentuk, di mana kabinet tetap ada sejauh oposisi tidak membangun aliansi guna menghentikannya. Parlementer Transaksional ini bersifat hirarkis dalam rangka hubungan legislatif – eksekutif-nya.

2. Bentuk Pemerintahan Presidensil

Presidensil cenderung memisahkan kepala eksekutif dari dewan perwakilan rakyat. Sangat sedikit media tempat di mana eksekutif dan legislatif dapat saling bertanya satu sama lain. 
Dalam sistem presidensil, pemilu diadakan dua macam. Pertama untuk memilih anggota parlemen dan kedua untuk memilih presiden. Presiden inilah yang dengan hak prerogatifnya menunjuk pembantu-pembantunya, yaitu menteri-menteri di dalam kabinet. Pola penunjukkan menteri oleh presiden ini efektif di dalam sistem dua partai, di mana dengan dua partai yang bersaing tersebut, pasti salah satu partai akan menang secara mayoritas. Di dalam sistem banyak partai, penunjukkan menteri oleh presiden juga dapat efektif jika salah satu partai menang secara 51%.

Di Indonesia yang bersistemkan presidensil, mekanisme penunjukkan anggota kabinet efektif di masa pemerintahanan Soeharto. Namun, di masa reformasi, pemenang pemilu, misalnya PDI-P, hanya mengantongi sekitar 35% suara, dan itu tidaklah mayoritas, sehingga di dalam menunjuk menteri-menteri Megawati harus mempertimbangkan pendapat dari partai-partai lain, apalagi yang punya suara cukup besar seperti Golkar, PPP, PAN, dan PKB.

Di dalam sistem presidensil, presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen (DPR) tetapi langsung kepada rakyat. Sanksi jika presiden dianggap tidak ‘menrespon hati nurani rakyat’ dapat berujung pada dua jalan: pertama, tidak memilih lagi si presiden tersebut dalam proses pemilihan umumj, dan kedua, mengadukan pelanggaran-pelanggaran yang presiden lakukan kepada parlemen. Parlemen inilah yang nanti menggunakan hak kontrolnya untuk mempertanyan sikap-sikap presiden yang diadukan ‘rakyat’ tersebut. Jadi, berbeda dengan Parlementer —di mana jika si perdana menteri dianggap tidak bertanggung jawab, parlemen, terutama partai-partai oposisi, dapat mengajukan mosi tidak percaya kepada perdana menteri yang jika didukung oleh 51% suara parlemen, si perdana menteri tersebut beserta kabinetnya terpaksa harus mengundurkan diri— dalam sistem presidensil, hal seperti ini sulit untuk dilakukan mengingat yang memilih si presiden bukanlah parlemen melainkan rakyat secara langsung.

Matthew Soberg Shugart menyatakan, bentuk murni dari presidensil adalah sebagai berikut:
§  Eksekutif dikepalai oleh presiden yang dipilih rakyat secara langsung dan ia merupakan “kepala eksekutif.”
§  Posisi eksekutif dan legislatif didefinisikan secara jelas dan keduanya tidak saling bergantung.
§  Presiden memilih dan mengarahkan kabinet dan punya sejumlah kewenangan pembuatan legislasi yang diatur secara konstitusional.

Bagi Shugart, posisi hubungan eksekutif dan legislatif adalah transaksional. Keduanya independen satu sama lain karena dipilih rakyat lewat dua pemilu berbeda. Posisi legislatif tidak lebih tinggi ketimbang eksekutif dan demikian pula sebaliknya. Namun, eksekutif dan legislatif terlibat dalam hubungan pertukaran (transaksional) seputar keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan politik bergantung permasalahan yang mengemuka.

Varian bentuk sistem Presidensil terjadi bergantung kebutuhan presiden dalam melakukan transaksi dengan legislatif. Kebutuhan tersebut utamanya dalam hal presiden mengimplementasikan kebijakan.

Kala parlemen terdiri atas partai mayoritas, baik itu partai-nya presiden atau bukan, pasti terdapat kapasitas institusional untuk tawar-menawar dengan presiden seputar kepentingan partai mayoritas tersebut. Dalam konteks ini, presiden mungkin tidak membutuhkan kabinet yang merefleksikan transaksi eksekutif-legislatif. Legislatif dan eksekutif yang otonomi tercipta.

Kala parlemen terfragmentasi dan presiden punya dukungan yang kurang memadai dari parlemen. Sementara itu, presiden memilih tidak membentuk kabinet yang mencerminkan komposisi suara dalam parlemen dengan alasan persetujuan dengan parlemen akan membatasi kemampuannya mengimplementasi kebijakan. Jika ini yang terjadi, maka akan tercipta pola “anarkis” di mana presiden terus menerus diganggu dan tidak ada program-program pemerintah yang tuntas terlaksana akibat gangguan tersebut.

Kala tidak terdapat mayoritas legislatif tetapi terdapat dukuan partisan substansial bagi presiden di parlemen, maka presiden butuh dan ingin melakukan transaksi dengan parlemen seputar kabinet. Transaksi ini dalam rangka menghubungkan legislatif dan eksekutif bersama dan memfasilitasi tawar-menawar legislatif.

3. Semi Presidensil

Shugart memuat pernyataan Maurice Duverger tahun 1980 tentang sistem pemerintahan campuran. Sistem campuran ini ia sebut Semi-Presidensial. Lebih lanjut, Shugart menyatakan bahwa ciri utama dari Semi-Presidensial adalah:
§  Presiden dipilih langsung oleh rakyat;
§  Presiden punya kewenangan konstitusional terbatas;
§  Terdapat pula Perdana Menteri dan Kabinet, yang merupakan kepanjangan tangan dari mayoritas di parlemen.

Semi-Presidensial juga disebut Blondell tahun 1984 sebagai “Dual Excecutive”. Dual executive terjadi kala presiden tidak hanya kepala negara yang kurang otoritas politiknya, tetapi juga bukan kepala pemerintahan (eksekutif) yang sesungguhnya, karena juga terdapat Perdana Menteri yang punya hubungan kuat dengan parlemen dan merefleksikan demokrasi parlementer. Namun, rupa hubungan antara Presiden, Perdana Menteri, Kabinet, dan Parlemen berbeda-beda antara negara-negara yang menerapkan Semi-Presidensial tersebut.

Varian sistem Semi-Presidensial yaitu: (1) Premier-Presidensil dan (2) President-Parlementer. Kedua varian ini akibat cukup bervariasinya praktek-praktek Semi-Presidensial untuk hanya secara ketat dimasukkan ke dalam terminologi Duverger. Variasi praktek tersebut dalam hal kekuasan konstitusional formal ataupun perilaku aktual pemerintah di masing-masing negara. Presiden mungkin terkesan sangat kuat di satu negara, sementara amat lemah di negara lainnya.

Premier-Presidensil.
 Dalam Premier-Presidensil, perdana menteri dan kabinet secara eksklusif bertanggung jawab kepada mayoritas parlemen. Ini berbeda dengan President-Parlementer dimana perdana menteri dan kabinet bertanggung jawab kepada dua pihak yaitu presiden dan mayoritas parlemen.

Dalam Premier-Presidensil pula, hanya mayoritas parlemen saja yang berhak memberhentikan kabinet. Ini membuat Premier-Presidensil sangat dekat dengan Parlementer. Namun, ia tetap punya ciri Presidensil, yaitu bahwa presiden punya kewenangan konstitusional untuk bertindak secara independen di hadapan parlemen. Keindependenan tersebut bisa dalam hal membentuk pemerintahan ataupun pembuatan undang-undang.

Presiden-Parlementer. 
Dalam sistem ini presiden menikmatik kekuasaan konstitusional yang lebih kuat atas komposisi kabinet ketimbang di Premier-Presidensil. Otoritas presiden dalam Presiden-Parlementer juga bisa terbatas akibat orang yang dinominasikan untuk menjadi perdana menteri harus dikonfirmasi terlebih dahulu oleh mayoritas parlemen. Presiden-Parlementer menciptakan pertanggungjawaban ganda perdana menteri dan kabinet, yaitu kepada presiden dan parlemen. Sistem ini juga menempatkan presiden dalam posisi relatif kuat ketimbang Premier-Presidensil .

4. Hybryd Lainnya
Selain Semi-Presidensial, terdapat pula model hybryd sistem pemerintahan yang bukan parlementer, bukan presidensil, dan bukan Semi-Presidensial. Model pemerintahan ini terdapat di Swiss di mana terdapat eksekutif yang dipilih dari parlemen dan memiliki jangka waktu kekuasaan yang fix (tidak bisa diganggu oleh parlemen). Model ini juga ada di Israel, di mana kepala eksekutif yang dipilih langsung rakyat sekaligus punya posisi yang punya ketergantungan tinggi pada parlemen.

Tidak ada komentar: