Jenis-Jenis Kekuasaan
1. Monarki dan Tirani
Monarki berasal dari kata ‘monarch’ yang berarti raja, yaitu jenis kekuasaan
politik di mana raja atau ratu sebagai pemegang kekuasaan dominan negara
(kerajaan). Para pendukung monarki biasanya mengajukan pendapat bahwa jenis
kekuasaan yang dipegang oleh satu tangan ini lebih efektif untuk menciptakan
suatu stabiltas atau konsensus di dalam proses pembuatan kebijakan. Perdebatan
yang bertele-tele, pendapat yang beragam, atau persaingan antarkelompok menjadi
relatif terkurangi oleh sebab cuma ada satu kekuasaan yang dominan.
Negara-negara yang menerapkan jenis kekuasaan monarki hingga saat ini adalah
Inggris, Swedia, Denmark, Belanda, Norwegia, Belgia, Luxemburg, Jepang,
Muangthai, dan Spanyol. Di negara-negara ini, monarki menjadi instrumen
pemersatu yang cukup efektif, misalnya sebagai simbol persatuan antar berbagai
kelompok yang ada di tengah masyarakat. Kita perhatikan negara yang modern dan
maju seperti Inggris dan Jepang pun masih menerapkan sistem monarki.
Namun, di negara-negara ini, penguasa monarki harus berbagi kekuasaan dengan
pihak lain, terutama parlemen. Proses berbagi kekuasaan tersebut dikukuhkan
lewat konstitusi (Undang-undang Dasar), dan sebab itu, monarki di era
negara-negara modern sesungguhnya bukan lagi absolut melainkan bersifat monarki
konstitusional. Bahkan, kekuasaannya hanya bersifat simbolik (sekadar kepala
negara) ketimbang amat menentukan praktek pemerintahan sehari-hari (kepala
pemerintahan). Di ke-10 negara monarki yang telah disebut di atas, pihak yang
relatif lebih berkuasa untuk menentukan jalannya pemerintahan adalah parlemen
dengan perdana menteri sebagai kepala pemerintahannya.
Jenis monarki lainnya yang kini masih ada adalah Arab Saudi. Negara ini berupa
kerajaan dan raja adalah sekaligus kepala negara dan pemerintahan. Kekuasaan
raja tidak dibatasi secara konstitusional, tidak ada partai politik dan oposisi
di sana. Pola kekuasaan di Arab Saudi juga dikenal sebagai dinasti (Dinasti
al-Saud), di mana pewaris raja adalah keturunannya.
Bentuk pemerintahan yang buruk di dalam satu tangan adalah Tirani. Tiran-tiran
kejam yang pernah muncul dalam sejarah politik dunia misalnya Kaisar Nero,
Caligula, Hitler, atau Stalin. Meskipun Hitler atau Stalin memerintah di era
negara modern, tetapi jenis kekuasaan yang mereka jalankan pada hakekatnya
terkonsentrasi pada satu tangan, di mana keduanya sama sekali tidak mau membagi
kekuasaan dengan pihak lain, dan kerap kali bersifat kejam baik terhadap rakyat
sendiri maupun lawan politik.
2. Aristokrasi dan Oligarki
Dalam jenis kekuasaan monarki, raja atau ratu biasanya bergantung pada dukungan
yang diberikan oleh para penasihat dan birokrat. Jika kekuasaan lebih banyak
ditentukan oleh orang-orang ini (penasihat dan birokrat) maka jenis kekuasaan
tidak lagi berada pada satu orang (mono) melainkan beberapa (few).
Aristokrasi sendiri merupakan pemerintahan oleh sekelompok elit (few) dalam
masyarakat, di mana mereka ini mempunyai status sosial, kekayaan, dan kekuasaan
politik yang besar. Ketiga hal ini dinikmati secara turun-temurun (diwariskan),
menurun dari orang tua kepada anak. Jenis kekuasaan aristokrasi ini disebut
pula sebagai jenis kekuasaan kaum bangsawan (aristokrasi).
Biasanya, di mana ada kelas aristokrat yang dominan secara politik, maka di
sana ada pula monarki. Namun, jenis kekuasaan oleh beberapa orang ini —aristokrasi—
tidak bertahan lama, oleh sebab orang-orang yang orang tuanya bukan bangsawan
pun bisa duduk mempengaruhi keputusan politik negara asalkan mereka
berprestasi, kaya, berpengaruh, dan cerdik. Jika kenyataan ini terjadi, yaitu
peralihan dari kekuasaan para bangsawasan ke kelompok non-bangsawan, maka hal
tersebut dinyatakan sebagai peralihan atau pergeseran dari aristokrasi menuju
oligarki.
Untuk menggambarkan peralihan di atas, baiklah kami kemukakan apa yang terjadi
di Inggris. Sebelum terjadinya Revolusi Industri padaa abad ke-18 —tepatnya
sebelum mesin uap ditemukan oleh James Watt— Inggris menganut jenis kekuasaan
monarki dengan kaum bangsawasan (aristokrat) sebagai pemberi pengaruh yang
besar.
Namun, setelah Revolusi Industri mulai menunjukkan efek, yaitu berupa munculnya
kelas menengah baru (pengusaha baru yang kekayaan diperoleh sendiri bukan
diwariskan), maka kekuasaan kaum bangsawasan dalam mempengaruhi kekuasaan
monarki mulai ‘digerogoti.’ Kelas menengah baru ini mulai menentukan jalannya kekuasaan
di parlemen, dan, pengaruh kaum ‘Orang Kaya Baru’ ini dinyatakan sebagai jenis
kekuasaan oligarki.
Hingga saat ini, di parlemen Inggris terdapat dua kamar yaitu House of Lords
dan House of Commons. Kamar yang pertama berisikan kaum bangsawan (namanya
didahului dengan Sir), sementara yang kedua banyak diisi oleh kaum kaya yang
berpengaruh, meskipun mereka bukan berdarah bangsawan. House of Commons lebih
menentukan jalannya parlemen Inggris ketimbang House of Lords. Dengan demikian,
oligarki-lah yang lebih berkuasa di Inggris ketimbang aristokrasi pada masa
kini.
3. Demokrasi dan Mobokrasi
Jika kekuasaan dipegang oleh seluruh rakyat, bukan oleh mono atau few, maka
kekuasaan tersebut dinamakan demokrasi. Di dalam sejarah politik, jenis
kekuasaan demokrasi yang dikenal terdiri dari dua kategori. Kategori pertama
adalah demokrasi langsung (direct democracy) dan demokrasi perwakilan
(representative democracy).
Demokrasi langsung berarti rakyat memerintah dirinya secara langsung, tanpa
perantara. Salah satu pendukung demokrasi langsung adalah Jean Jacques
Rousseau, di mana Rousseau ini mengemukakan 4 kondisi yang memungkinkan bagi
dilaksanakannya demokrasi langsung yaitu:
§ Jumlah warganegara harus kecil.
§ Pemilikan dan kemakmuran harus
dibagi secara merata (hampir merata).
§ Masyarakat harus homogen (sama)
secara budaya.
§ Terpenuhi di dalam masyarakat
kecil yang bermata pencaharian pertanian.
Pertanyaan kemudian adalah: Mungkinkan keadaan yang digambarkan Rousseau itu
ada di era negara modern saat ini? Jumlah warganegara negara-negara di dunia
rata-rata berada di atas jumlah 1-2 juta jiwa, pemilikan harta sama sekali
tidak merata, secara budaya masyarakat relatif heterogen (beragam) yang
ditambah dengan infiltrasi budaya asing, dan pencaharian penduduk dunia tengah
beralih dari pertanian ke industri. Masih mungkinkah demokrasi langsung
dilaksanakan?
Di dalam demokrasi langsung, memang kedaulatan rakyat lebih terpelihara oleh
sebab kekuasaannya tidak diwakilkan. Semua warganegara ikut terlibat di dalam
proses pengambilan keputusan, tanpa ada yang tidak ikut serta. Namun, di zaman
pelaksanaan demokrasi langsung sendiri, yaitu di masa negara-kota Yunani Kuno,
ada beberapa kelompok masyarakat yang tidak diizinkan untuk ikut serta di dalam
proses demokrasi langsung yaitu: budak, perempuan, dan orang asing.
Dengan alasan kelemahan demokrasi langsung, terutama oleh ketidakrealistisannya
untuk diberlakukan dalam keadaan negara modern, maka demokrasi yang saat ini
dikembangkan adalah demokrasi perwakilan. Di dalam demokrasi perwakilan, tetap
rakyat yang memerintah. Namun, itu bukan berarti seluruh rakyat
berbondong-bondong datang ke parlemen atau istana negara untuk memerintah atau
membuat UU. Tentu tidak demikian.
Rakyat terlibat secara ‘total’ di dalam mekanisme pemilihan pejabat (utamanya
anggota parlemen) lewat Pemilihan Umum periodik (misal: 4 atau 5 tahun sekali).
Dengan memilih si anggota parlemen, rakyat tetap berkuasa untuk membuat UU,
akan tetapi keterlibatan tersebut melalui si wakil. Wakil ini adalah orang yang
mendapat delegasi wewenang dari rakyat. Di Indonesia, 1 orang wakil rakyat
(anggota parlemen) kira-kira mewakili 300.000 orang pemilih.
Dengan demokrasi perwakilan, rakyat tidak terlibat secara penuh di dalam
membuat UU negara. Misalnya saja, dari hampir 200 juta jiwa warganegara
Indonesia, proses pemerintahan demokrasi di tingkat parlemen hanya dilakukan
oleh 500 orang wakil rakyat yang duduk menjadi anggota DPR. Bandingkan kalau
saja Indonesia menerapkan demokrasi langsung di mana 200 juta rakyat Indonesia
duduk di parlemen. Kacau dan pasti memakan biaya mahal, bukan? Dengan kenyataan
ini maka demokrasi perwakilan lebih praktis ketimbang demokrasi langsung.
Dalam demokrasi, baik langsung ataupun tidak langsung, keterlibatan rakyat
menjadi tujuan utama penyelenggaraan negara. Masing-masing individu rakyat
pasti ingin kepentinganyalah yang terlebih dahulu dipenuhi. Oleh sebab
keinginan tersebut ingin didahulukan, dan pihak lain pun sama, dan jika hal ini
berujung pada situasi chaos (kacau) bahkan perang (bellum omnium contra omnes
--- perang semua lawan semua), maka bukan demokrasi lagi namanya melainkan
mobokrasi. Mobokrasi adalah bentuk buruk dari demokrasi, di mana rakyat memang
berdaulat tetapi negara berjalan dalam situasi perang dan tidak ada satu pun
kesepakatan dapat dibuat secara damai.
4. Timokrasi
Menurut Stanley Rosen, Timokrasi adalah jenis kekuasaan yang pernah disebutkan
oleh Sokrates, filosof Yunani. Timokrasi dirujuk Sokrates dalam menggambarkan
rezim pemerintahan negara kota Sparta. Konsep ini mengacu pada “timocratic
man”, yaitu seseorang yang gandrung akan kemenangan dan kehormatan. Timokrasi
terletak di posisi tengah antara Aristokrasi dan Oligarki. Juga disebutkan
Timokrasi adalah Aristokrasi yang tengah mengalami kemerosotan ke arah jenis
kekuasaan Oligarki.
Jika Aristokrasi adalah jenis pemerintahan ideal, penuh keberanian dan
kehormatan dalam pemerintahan. Namun, tatkala keberanian dan kehormatan dari
kekuasaan di tangan beberapa orang atau kelompok ini (aristokrasi) mulai
diwarnai motivasi kesejahteraan pribadi atau kelompok, maka dimulaikan
Timokrasi. Timokrasi bukan Oligarki, oleh sebab di dalam Timokrasi, menurut
Sokrates, masih meniru Aristokrasi. Barulah, tatkala proses peniruan kualitatif
atas Aristokrasi tidak lagi terjadi, Timokrasi merosot menjadi Oligarki.
5. Oklokrasi
Mirip dengan definisi Mobokrasi. Oklokrasi adalah situasi negara dalam anarki
massa. Pemerintahan ini tidak legal dan konstitusional. Namun, karena
--biasanya-- kelompok-kelompok massa tersebut punya senjata atau massa besar,
mereka memerintah memanfaatkan rasa takut. Amerika Serikat tahun 1930-an hampir
masuk ke dalam kategori ini, di mana keluarga-keluarga mafia mengendalikan
negara secara ilegal dan inkonstitusional.
6. Plutokrasi
Plutokrasi adalah jenis kekuasaan di mana negara “disetir” oleh orang-orang
kaya. Plutokrasi ini mirip dengan Oligarki. Namun, Plutokrasi terjadi tatkala
tercipta suatu kondisi ekstrim ketimpangan antara “kaya” dan “miskin” di dalam
suatu negara. Plutokrat (penguasa dalam Plutokrasi) tidak hanya menguasai
sumber-sumber ekonomi dan politik, melainkan juga sumber-sumber militer
(pasukan, senjata, teknologi). Dalam kondisi seperti ini, Plutokrat biasanya,
secara de facto, lebih berkuasa ketimbang pemerintah resmi.
7. Kleptokrasi
Kleptokrasi adalah jenis kekuasaan dimana pejabat publik menggunakan kekuasaan
publiknya untuk mencuri kekayaan negara (korupsi otomatis). Kleptokrasi juga
disebut sebagai korupsi yang dilakukan oleh para pejabat tingkat tinggi yang
secara sistematis menggunakan posisinya untuk mengalirkan dana publik ke dalam
kantong-kantong pribadinya. Semakin massal tindak korupsi oleh para pejabat
publik, maka semakin mendekati suatu negara menganut jenis pemerintahan
Kleptokrasi.
Bentuk-Bentuk Negara
Bentuk-bentuk negara yang dikenal hingga saat ini terdiri dari tiga bentuk
yaitu Konfederasi, Kesatuan, dan Federal. Meskipun demikian, bentuk negara
Konfederasi kiranya jarang diterapkan di dalam bentuk-bentuk negara pada masa
kini. Namun, untuk keperluan analisis, baiklah di dalam materi kuliah ini
dicantumkan pula masalah Konfederasi minimal untuk lebih meluaskan wawasan kita
mengenai bentuk-bentuk negara yang ada.
1. Negara Konfederasi
Bagi L. Oppenheim, “konfederasi terdiri dari beberapa negara yang berdaulat
penuh yang untuk mempertahankan kedaulatan ekstern (ke luar) dan intern (ke
dalam) bersatu atas dasar perjanjian internasional yang diakui dengan
menyelenggarakan beberapa alat perlengkapan tersendiri yang mempunyai kekuasaan
tertentu terhadap negara anggota Konfederasi, tetapi tidak terhadap warganegara
anggota Konfederasi itu.”
Menurut kepada definisi yang diberikan oleh L. Oppenheim di atas, maka
Konfederasi adalah negara yang terdiri dari persatuan beberapa negara yang
berdaulat. Persatuan tersebut diantaranya dilakukan demi mempertahankan
kedaulatan dari negara-negara yang masuk ke dalam Konfederasi tersebut. Pada
tahun 1963, Malaysia dan Singapura pernah membangun suatu Konfederasi, yang
salah satunya dimaksudkan untuk mengantisipasi politik luar negeri yang agresif
dari Indonesia di masa pemerintahan Sukarno. Malaysia dan Singapura mendirikan
Konfederasi lebih karena alasan pertahanan masing-masing negara.
Dalam Konfederasi, aturan-aturan yang ada di dalamnya hanya berefek kepada
masing-masing pemerintah (misal: pemerintah Malaysia dan Singapura), dengan
tidak mempengaruhi warganegara (individu warganegara) Malaysia dan Singapura.
Meskipun terikat dalam perjanjian, pemerintah Malaysia dan Singapura tetap
berdaulat dan berdiri sendiri tanpa intervensi satu negara terhadap negara
lainnya di dalam Konfederasi.
Miriam Budiardjo menjelaskan bahwa Konfederasi itu sendiri pada hakekatnya
bukan negara, baik ditinjau dari sudut ilmu politik maupun dari sudut hukum
internasional. Keanggotaan suatu negara ke dalam suatu Konfederasi tidaklah
menghilangkan ataupun mengurangi kedaulatan setiap negara yang menjadi anggota
Konfederasi.
Garis putus-putus yang melambangkan ‘rantai
komando’ dari Konfederasi menuju Pemerintah Negara A, B, dan C, dimaksudkan
guna menunjukkan hirarki yang kurang tegas antara kedua ‘negara’ tersebut
(tanpa petunjuk panah plus garis putus-putus). Dapat dilihat misalnya, garis
‘komando’ hanya beranjak dari Konfederasi menuju pemerintah negara A, B, dan C,
tetapi tidak pada warganegara di ketiga negara.
Garis ‘komando’ langsung terhadap warganegara di masing-masing negara dilakukan
oleh pemerintah masing-masing. Kesediaan pemerintah ketiga negara berdaulat
untuk bergabung ke dalam konfederasi lebih disebabkan oleh motivasi sukarela
ketimbang kewajiban. Pengaruh Konfederasi terhadap ketiga negara berdaulat (A,
B, dan C) hanya bersifat kecil saja. Mengenai ‘lingkaran’ yang melingkupi
masing-masing pemerintah dan negara bagaian mengindikasikan kedaulatan yang
tetap ada di masing-masing negara anggota Konfederasi.
2. Kesatuan
Negara Kesatuan adalah negara yang pemerintah pusat atau nasional memegang
kedudukan tertinggi, dan memiliki kekuasaan penuh dalam pemerintahan
sehari-hari. Tidak ada bidang kegiatan pemerintah yang diserahkan konstitusi
kepada satuan-satuan pemerintahan yang lebih kecil (dalam hal ini, daerah atau
provinsi).
Dalam negara Kesatuan, pemerintah pusat (nasional) bisa melimpahkan banyak
tugas (melimpahkan wewenang) kepada kota-kota, kabupaten-kabupaten, atau
satuan-satuan pemerintahan lokal. Namun, pelimpahan wewenang ini hanya diatur
oleh undang-undang yang dibuat parlemen pusat (di Indonesia DPR-RI), bukan
diatur di dalam konstitusi (di Indonesia UUD 1945), di mana pelimpahan wewenang
tersebut bisa saja ditarik sewaktu-waktu.
Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya
kepada daerah berdasarkan hak otonomi, di mana ini dikenal pula sebagai
desentralisasi. Namun, kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan pemerintah
pusat dan dengan demikian, baik kedaulatan ke dalam maupun kedaulatan ke luar
berada pada pemerintah pusat.
Miriam Budiardjo menulis bahwa yang menjadi hakekat negara Kesatuan adalah
kedaulatannya tidak terbagi dan tidak dibatasi, di mana hal tersebut dijamin di
dalam konstitusi. Meskipun daerah diberi kewenangan untuk mengatur sendiri
wilayahnya, tetapi itu bukan berarti pemerintah daerah itu berdaulat, sebab
pengawasan dan kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan pemerintah pusat.
Pemerintah pusat-lah sesungguhnya yang mengatur kehidupan setiap penduduk
daerah.
Keuntungan negara Kesatuan adalah adanya keseragaman Undang-Undang, karena
aturan yang menyangkut ‘nasib’ daerah secara keseluruhan hanya dibuat oleh
parlemen pusat. Namun, negara Kesatuan bisa tertimpa beban berat oleh sebab
adanya perhatian ekstra pemerintah pusat terhadap masalah-masalah yang muncul
di daerah.
Penanganan setiap masalah yang muncul di daerah kemungkinan akan lama diselesaikan
oleh sebab harus menunggu instruksi dari pusat terlebih dahulu. Bentuk negara
Kesatuan juga tidak cocok bagi negara yang jumlah penduduknya besar,
heterogenitas (keberagaman) budaya tinggi, dan yang wilayahnya terpecah ke
dalam pulau-pulau. Untuk lebih memperjelas masalah negara Kesatuan ini, baiklah
kami buat skema berikut:
Ada sebagian kewenangan yang didelegasikan
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, yang dengan kewenangan tersebut
pemerintah daerah mengatur penduduk yang ada di dalam wilayahnya. Namun,
pengaturan pemerintah daerah terhadap penduduk di wilayahnya lebih bersifat
‘instruksi dari pusat’ ketimbang improvisasi dan inovasi pemerintah daerah itu
sendiri.
Dalam negara Kesatuan, pemerintah pusat secara langsung mengatur masing-masing
penduduk yang ada di setiap daerah. Misalnya, pemerintah pusat berwenang
menarik pajak dari penduduk daerah, mengatur kepolisian daerah, mengatur badan
pengadilan, membuat kurikulum pendidikan yang bersifat nasional, merelay
stasiun televisi dan radio pemerintah ke seluruh daerah, dan bahkan menunjuk
gubernur kepala daerah.
3. Federasi
Negara Federasi ditandai adanya pemisahan kekuasaan negara antara pemerintahan
nasional dengan unsur-unsur kesatuannya (negara bagian, provinsi, republik,
kawasan, atau wilayah). Pembagian kekuasaan ini dicantumkan ke dalam konstitusi
(undang-undang dasar). Sistem pemerintahan Federasi sangat cocok untuk
negara-negara yang memiliki kawasan geografis luas, keragaman budaya daerah
tinggi, dan ketimpangan ekonomi cukup tajam.
Apakah ada perbedaan antara Konfederasi dengan Federasi ? Ya, ada!
Negara-negara yang menjadi anggota suatu Konfederasi tetap merdeka sepenuhnya
atau berdaulat, sedangkan negara-negara yang tergabung ke dalam suatu Federasi
kehilangan kedaulatannya, oleh sebab kedaulatan ini hanya ada di tangan
pemerintahan Federasi.
Di Amerika Serikat, terdapat 50 negara bagian semisal Alabama, New Hampshire,
New Mexico, Maine, Utah, Wisconsin, South Dakota, Wyoming, West Virginia,
Nevada, New Jersey, Florida, Hawaii, Alaska, New Mexico, California, Kansas,
Phoenix, Nebraska, Pennsylvania, atau Texas. Negara-negara bagian ini tidaklah
berdaulat sendiri-sendiri melainkan kedaulatan tersebut hanya ada di tangan
pemerintah Federasi yang dikenal sebagai United States of America (Amerika
Serikat) dengan ibukotanya di Washington D.C. (District Columbia) itu!
Bagaimana selanjutnya, adakah perbedaan antara negara Federasi dengan negara
Kesatuan ? Ya, juga ada! Negara-negara bagian suatu Federasi memiliki wewenang
untuk membentuk undang-undang dasar sendiri serta pula wewenang untuk mengatur
bentuk organisasi sendiri dalam batas-batas konstitusi federal, sedangkan di
dalam negara Kesatuan, organisasi pemerintah daerah secara garis besar telah
ditetapkan oleh undang-undang dari pusat.
Selanjutnya pula, dalam negara Federasi, wewenang membentuk undang-undang pusat
untuk mengatur hal-hal tertentu telah terperinci satu per satu dalam konstitusi
Federal, sedangkan dalam negara Kesatuan, wewenang pembentukan undang-undang
pusat ditetapkan dalam suatu rumusan umum dan wewenang pembentukan
undang-undang lokal tergantung pada badan pembentuk undang-undang pusat itu.
Di dalam negara Federasi, kedaulatan hanya
milik pemerintah Federal, bukan milik negara-negara bagian. Namun, wewenang
negara-negara bagian untuk mengatur penduduk di wilayahnya lebih besar
ketimbang pemerintah daerah di negara Kesatuan.
Wewenang negara bagian di negara Federasi telah tercantum secara rinci di dalam
konstitusi federal, misalnya mengadakan pengadilan sendiri, memiliki
undang-undang dasar sendiri, memiliki kurikulum pendidikan sendiri,
mengusahakan kepolisian negara bagian sendiri, bahkan melakukan perdagangan
langsung dengan negara luar seperti pernah dilakukan pemerintah Indonesia
dengan negara bagian Georgia di Amerika Serikat di masa Orde Baru.
Kendatipun negara bagian memiliki wewenang konstitusi yang lebih besar
ketimbang negara Kesatuan, kedaulatan tetap berada di tangan pemerintah Federal
yaitu dengan monopoli hak untuk mengatur Angkatan Bersenjata, mencetak mata
uang, dan melakukan politik luar negeri (hubungan diplomatik). Kedaulatan ke
dalam dan ke luar di dalam negara Federasi tetap menjadi hak pemerintah Federal
bukan negara-negara bagian.
Korelasi Demografis dengan Bentuk Negara dan Pemerintahan
Guna memperlihatkan korelasi antara bentuk negara, luas wilayah, jumlah
penduduk, bentuk pemerintahan, dan bentuk negara, di bawah ini kami cantumkan
20 negara dari beragam belahan dunia.
Dari tabel di atas dapat kita sama-sama
lihat bahwa negara-negara dengan luas wilayah besar (di atas 1 juta kilometer
persegi), biasanya memilih bentuk negara Federasi, kecuali Indonesia, Mesir,
dan Bolivia.
Namun, antara Indonesia, Mesir dan Bolivia terdapat sejumlah perbedaan.
Indonesia terpecah ke dalam pulau-pulau di mana penduduk di masing-masing pulau
tersebut memiliki budaya yang saling berbeda. Sementara Mesir dan Bolivia
seluruh wilayahnya berada di daratan. Jumlah penduduk Bolivia dan Mesir pun jauh
berada di bawah jumlah penduduk Indonesia.
Anda pun dapat menganalisis berdasarkan tabel di atas khususnya sehubungan
dengan masalah keragaman budaya di masing-masing negara dengan pemilihan bentuk
negara (Federasi atau Kesatuan). Di Indonesia sendiri, Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam telah diberi hak untuk menerapkan sistem hukum sendiri (syariat
Islam), tetapi tetap tidak diperbolehkan memiliki angkatan perang, mata uang,
dan melakukan politik luar negeri sendiri. Apakah Indonesia tengah berjalan menuju
bentuk negara Federasi atau tidak? Bagaimana argumentasi Anda?
Bentuk Pemerintahan
Pemerintahan tidak sekedar menyangkut pihak eksekutif, melainkan juga
eksekutif. Dalam pembicaraan mengenai bentuk pemerintahan, kita sekaligus
menelaah hubungan antara badan eksekutif dengan legislatif. Pembicaraan ini
juga menyangkut bagaimana proses perekrutan anggota eksekutif dan legislatif di
suatu negara.
Dua bentuk pemerintahan yang paling luas digunakan negara-negara di dunia
adalah Parlementer dan Presidensil. Kedua bentuk tersebut memiliki mekanisme
perekrutan yang berbeda satu dengan lainnnya.
1. Bentuk Pemerintahan Parlementer
Dalam sistem Parlementer, warganegara tidak memilih kepala negara secara
langsung. Mereka memilih anggota-anggota dewan perwakilan rakyat, yang
diorganisasi ke dalam satu atau lebih partai politik. Umumnya, sistem
Parlementer mengindikasikan hubungan kelembagaan yang erat antara eksekutif dan
legislatif.
Kepala pemerintahan dalam sistem Parlementer adalah perdana menteri (disebut Premier
di Italia atau Kanselir di Jerman). Perdana menteri memilih menteri-menteri
serta membentuk kabinet berdasarkan suatu ‘mayoritas’ dalam parlemen
(berdasarkan jumlah suara yang didapat masing-masing partai di dalam Pemilu).
Untuk lebih memberi kejelasan mengenai sistem Parlementer ini.
Dalam bentuk pemerintahan parlementer,
pemilu hanya diadakan satu macam yaitu untuk memilih anggota parlemen. Lewat
mekanisme pemilihan umum, warganegara memilih wakil-wakil mereka untuk duduk di
parlemen. Wakil-wakil yang mereka pilih tersebut merupakan anggota dari
partai-partai politik yang ikut serta di dalam pemilihan umum.
Jika sebuah partai memenangkan suara secara mayoritas (misalnya 51% suara
pemilih), maka secara otomatis, ketua partai tersebut menjadi perdana menteri.
Selanjutnya, tugas yang harus dilakukan si perdana menteri ini adalah membentuk
kabinet, di mana anggota-anggota kabinet diajukan oleh para anggota parlemen
terpilih, sehingga anggota kabinet dapat berasal baik dari partainya sendiri
maupun partai saingannya yang punya jumlah suara signifikan. Menteri-menteri
inilah yang nantinya mengarahkan atau mengepalai kementerian-kementerian yang
dibentuk.
Jika pemilu tidak menghasilkan jumlah suara mayoritas (misalnya 30% hingga
50%), maka partai-partai harus berkoalisi untuk kemudian memilih siapa perdana
menterinya. Biasanya, partai dengan jumlah suara paling besar-lah yang ketua
partainya menjadi perdana menteri di dalam koalisi (kabinet koalisi). Susunan
kabinet pun, dengan koalisi ini, tidak bisa dimonopoli oleh satu partai saja,
layaknya ketika pemilu menghasilkan suara mayoritas 51%. Masing-masing partai
yang berkoalisi biasanya menuntut ‘jatah’ menteri sesuai dengan jumlah suara
yang mereka hasilkan dalam pemilu. Untuk selanjutnya, perdana menteri (beserta
kabinetnya) bertanggung jawab kepada parlemen sebagai representasi rakyat hasil
pemilihan umum.
Dalam bentuk parlementer, perdana menteri menjadi kepala pemerintahan sekaligus
pemimpin partai. Dalam sistem parlementer, partai yang menang dan masuk ke
dalam kabinet menjadi ‘pemerintah’ sementara yang tetap berada di dalam
parlemen menjadi ‘oposisi.’
Hal yang menarik adalah, anggota-angggota parlemen yang menjadi oposisi
membentuk semacam ‘kabinet bayangan.’ Jika kabinet pemerintah ‘jatuh’, maka
‘kabinet bayangan’ inilah yang akan menggantikannya lewat pemilu ‘yang
dipercepat’ atau pemilihan perdana menteri baru. Sistem ‘kabinet bayangan’ ini
berlangsung efektif di Inggris di mana ‘kabinet bayangan’ tersebut bekerja
layaknya kabinet pemerintah dan … digaji pula.
Matthew Soberg Shugart menyatakan bahwa, bentuk pemerintahan parlementer murni
adalah sebagai berikut:
Executive authority, consisting of a
prime minister and cabinet, arises out of the legislative assembly;
The executive is at all times subject
to potential dismissal via a vote of “no confidence” by a majority of the
legislative assembly.
Shugart menekankan bahwa hubungan antara legislatif dan eksekutif dalam
parlementer bersifat hirarkis. Dalam poin 1, otoritas eksekutif terdiri atas
perdana menteri dan kabinet. Keduanya lahir dari parlemen (legislatif). Karena
keduanya lahir dari parlemen, maka baik perdana menteri ataupun anggota kabinet
merupakan sasaran potensial bagi “mosi tidak percaya” yang disuarakan oleh
parlemen. Mudahnya, posisi perdana menteri dan para menterinya amat bergantung
pada kepercayaan politik yang diberikan para anggota parlemen. Sebab itu,
secara hirarkis, posisi perdana menteri dan anggota kabinet ada di bawah
parlemen atau, eksekutif berada di bawah legislatif.
Shugart juga menambahkan bahwa sistem pemerintahan Parlementer punya 2 varian,
yaitu : (1) Parlementer Mayoritas dan (2) Parlementer Transaksional.
Parlementer Mayoritas. Sistem ini berkembang kala satu partai
memperoleh mayoritas kursi di parlemen. Jika terjadi kondisi seperti ini, maka
hubungan antara legislatif dan eksekutif bersifat hirarkis di mana legislatif
berada di atas eksekutif. Kajian yang dilakukan Walter Bagehot (1867-1963)
menunjukkan derajat hirarkis seperti ini masih terjadi antara kepemimpinan
partai mayoritas di dalam parlemen terhadap eksekutif. Namun, pasca Bagehot
muncul keadaan di mana konsentrasi kekuasaan ada di tangan kepemimpinan partai
mayoritas (partai itu sendiri) ketimbang kepemimpinan partai di dalam parlemen.
Kondisi lain yang juga mengemuka, pimpinan partai yang duduk di dalam kabinet
semakin beroleh otonomi yang lebih besar dan cenderung “lepas” dari sokongan
politik mereka di parlemen. Ini misalnya terjadi di Inggris atau negara yang
menganut demokrasi Westminster.
Parlementer Transaksional. Jika tidak terdapat mayoritas di dalam
parlemen, eksekutif dalam sistem parlementer akan terdiri dari koalisi. Kabinet
dalam koalisi ini bertahan selama koalisi mampu menjamin mayoritas.
Alternatif-nya, pemerintahan minoritas mungkin saja terbentuk, di mana kabinet
tetap ada sejauh oposisi tidak membangun aliansi guna menghentikannya. Parlementer
Transaksional ini bersifat hirarkis dalam rangka hubungan legislatif –
eksekutif-nya.
2. Bentuk Pemerintahan Presidensil
Presidensil cenderung memisahkan kepala eksekutif dari dewan perwakilan rakyat.
Sangat sedikit media tempat di mana eksekutif dan legislatif dapat saling
bertanya satu sama lain.
Dalam sistem presidensil, pemilu diadakan
dua macam. Pertama untuk memilih anggota parlemen dan kedua untuk memilih
presiden. Presiden inilah yang dengan hak prerogatifnya menunjuk
pembantu-pembantunya, yaitu menteri-menteri di dalam kabinet. Pola penunjukkan
menteri oleh presiden ini efektif di dalam sistem dua partai, di mana dengan
dua partai yang bersaing tersebut, pasti salah satu partai akan menang secara
mayoritas. Di dalam sistem banyak partai, penunjukkan menteri oleh presiden
juga dapat efektif jika salah satu partai menang secara 51%.
Di Indonesia yang bersistemkan presidensil, mekanisme penunjukkan anggota
kabinet efektif di masa pemerintahanan Soeharto. Namun, di masa reformasi,
pemenang pemilu, misalnya PDI-P, hanya mengantongi sekitar 35% suara, dan itu
tidaklah mayoritas, sehingga di dalam menunjuk menteri-menteri Megawati harus
mempertimbangkan pendapat dari partai-partai lain, apalagi yang punya suara
cukup besar seperti Golkar, PPP, PAN, dan PKB.
Di dalam sistem presidensil, presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen
(DPR) tetapi langsung kepada rakyat. Sanksi jika presiden dianggap tidak
‘menrespon hati nurani rakyat’ dapat berujung pada dua jalan: pertama, tidak
memilih lagi si presiden tersebut dalam proses pemilihan umumj, dan kedua,
mengadukan pelanggaran-pelanggaran yang presiden lakukan kepada parlemen.
Parlemen inilah yang nanti menggunakan hak kontrolnya untuk mempertanyan
sikap-sikap presiden yang diadukan ‘rakyat’ tersebut. Jadi, berbeda dengan
Parlementer —di mana jika si perdana menteri dianggap tidak bertanggung jawab,
parlemen, terutama partai-partai oposisi, dapat mengajukan mosi tidak percaya
kepada perdana menteri yang jika didukung oleh 51% suara parlemen, si perdana
menteri tersebut beserta kabinetnya terpaksa harus mengundurkan diri— dalam
sistem presidensil, hal seperti ini sulit untuk dilakukan mengingat yang
memilih si presiden bukanlah parlemen melainkan rakyat secara langsung.
Matthew Soberg Shugart menyatakan, bentuk murni dari presidensil adalah sebagai
berikut:
§ Eksekutif dikepalai oleh
presiden yang dipilih rakyat secara langsung dan ia merupakan “kepala
eksekutif.”
§ Posisi eksekutif dan legislatif
didefinisikan secara jelas dan keduanya tidak saling bergantung.
§ Presiden memilih dan
mengarahkan kabinet dan punya sejumlah kewenangan pembuatan legislasi yang
diatur secara konstitusional.
Bagi Shugart, posisi hubungan eksekutif dan legislatif adalah transaksional.
Keduanya independen satu sama lain karena dipilih rakyat lewat dua pemilu
berbeda. Posisi legislatif tidak lebih tinggi ketimbang eksekutif dan demikian
pula sebaliknya. Namun, eksekutif dan legislatif terlibat dalam hubungan
pertukaran (transaksional) seputar keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan
politik bergantung permasalahan yang mengemuka.
Varian bentuk sistem Presidensil terjadi bergantung kebutuhan presiden dalam
melakukan transaksi dengan legislatif. Kebutuhan tersebut utamanya dalam hal
presiden mengimplementasikan kebijakan.
Kala parlemen terdiri atas partai mayoritas, baik itu partai-nya presiden atau
bukan, pasti terdapat kapasitas institusional untuk tawar-menawar dengan
presiden seputar kepentingan partai mayoritas tersebut. Dalam konteks ini,
presiden mungkin tidak membutuhkan kabinet yang merefleksikan transaksi
eksekutif-legislatif. Legislatif dan eksekutif yang otonomi tercipta.
Kala parlemen terfragmentasi dan presiden punya dukungan yang kurang memadai
dari parlemen. Sementara itu, presiden memilih tidak membentuk kabinet yang
mencerminkan komposisi suara dalam parlemen dengan alasan persetujuan dengan
parlemen akan membatasi kemampuannya mengimplementasi kebijakan. Jika ini yang
terjadi, maka akan tercipta pola “anarkis” di mana presiden terus menerus
diganggu dan tidak ada program-program pemerintah yang tuntas terlaksana akibat
gangguan tersebut.
Kala tidak terdapat mayoritas legislatif tetapi terdapat dukuan partisan
substansial bagi presiden di parlemen, maka presiden butuh dan ingin melakukan
transaksi dengan parlemen seputar kabinet. Transaksi ini dalam rangka
menghubungkan legislatif dan eksekutif bersama dan memfasilitasi tawar-menawar
legislatif.
3. Semi Presidensil
Shugart memuat pernyataan Maurice Duverger tahun 1980 tentang sistem
pemerintahan campuran. Sistem campuran ini ia sebut Semi-Presidensial. Lebih
lanjut, Shugart menyatakan bahwa ciri utama dari Semi-Presidensial adalah:
§ Presiden dipilih langsung oleh
rakyat;
§ Presiden punya kewenangan
konstitusional terbatas;
§ Terdapat pula Perdana Menteri
dan Kabinet, yang merupakan kepanjangan tangan dari mayoritas di parlemen.
Semi-Presidensial juga disebut Blondell tahun 1984 sebagai “Dual Excecutive”.
Dual executive terjadi kala presiden tidak hanya kepala negara yang kurang
otoritas politiknya, tetapi juga bukan kepala pemerintahan (eksekutif) yang
sesungguhnya, karena juga terdapat Perdana Menteri yang punya hubungan kuat
dengan parlemen dan merefleksikan demokrasi parlementer. Namun, rupa hubungan
antara Presiden, Perdana Menteri, Kabinet, dan Parlemen berbeda-beda antara
negara-negara yang menerapkan Semi-Presidensial tersebut.
Varian sistem Semi-Presidensial yaitu: (1) Premier-Presidensil dan (2)
President-Parlementer. Kedua varian ini akibat cukup bervariasinya praktek-praktek
Semi-Presidensial untuk hanya secara ketat dimasukkan ke dalam terminologi
Duverger. Variasi praktek tersebut dalam hal kekuasan konstitusional formal
ataupun perilaku aktual pemerintah di masing-masing negara. Presiden mungkin
terkesan sangat kuat di satu negara, sementara amat lemah di negara lainnya.
Premier-Presidensil. Dalam Premier-Presidensil, perdana menteri dan kabinet
secara eksklusif bertanggung jawab kepada mayoritas parlemen. Ini berbeda
dengan President-Parlementer dimana perdana menteri dan kabinet bertanggung
jawab kepada dua pihak yaitu presiden dan mayoritas parlemen.
Dalam Premier-Presidensil pula, hanya mayoritas parlemen saja yang berhak
memberhentikan kabinet. Ini membuat Premier-Presidensil sangat dekat dengan
Parlementer. Namun, ia tetap punya ciri Presidensil, yaitu bahwa presiden punya
kewenangan konstitusional untuk bertindak secara independen di hadapan
parlemen. Keindependenan tersebut bisa dalam hal membentuk pemerintahan ataupun
pembuatan undang-undang.
Presiden-Parlementer. Dalam sistem ini presiden menikmatik kekuasaan
konstitusional yang lebih kuat atas komposisi kabinet ketimbang di
Premier-Presidensil. Otoritas presiden dalam Presiden-Parlementer juga bisa
terbatas akibat orang yang dinominasikan untuk menjadi perdana menteri harus
dikonfirmasi terlebih dahulu oleh mayoritas parlemen. Presiden-Parlementer
menciptakan pertanggungjawaban ganda perdana menteri dan kabinet, yaitu kepada
presiden dan parlemen. Sistem ini juga menempatkan presiden dalam posisi relatif
kuat ketimbang Premier-Presidensil .
4. Hybryd Lainnya
Selain Semi-Presidensial, terdapat pula model hybryd sistem pemerintahan yang
bukan parlementer, bukan presidensil, dan bukan Semi-Presidensial. Model
pemerintahan ini terdapat di Swiss di mana terdapat eksekutif yang dipilih dari
parlemen dan memiliki jangka waktu kekuasaan yang fix (tidak bisa diganggu oleh
parlemen). Model ini juga ada di Israel, di mana kepala eksekutif yang dipilih
langsung rakyat sekaligus punya posisi yang punya ketergantungan tinggi pada
parlemen.